Jumat, 19 Juni 2020

Cerpen: Ilusi




Ada kalanya terkadang kita begitu sensitif di dunia. Saat waktu itu datang, serta capung terbang akan berasa mengagumkan serta dunia ini begitu ajaib untuk dipahami. Seperti ini hari, waktu waktu seakan memanduku masuk dunia yang betul-betul tidak sama.

Jelas dalam daya ingatku, waktu figur sejuta tawa itu tinggalkan dunia, tersisa masa lalu manis yang terangkum dalam cinta. Tetapi detik ini, dunia seakan tengah mempermainkanku.

Ia, yang sempat mengajariku makna dari sama-sama mempunyai. Ia, yang membuatku tetap terdiam memandang irislah cokelat penuh kabut pesonanya. Serta ia, yang merusakku dengan perihnya kehilangan sekarang dengan gagah berdiri di hadapanku memperlihatkan satu senyuman.

Lidahku kelu tuk ungkap perasaan. Semua badanku bergetar sampai cairan bening yang sendari barusan menggenang di pelupuk mata terjun bebas tanpa ada titah.

Saya terisak pada saat mata ini masih memandang sangsi seorang yang mengukir senyum di depanku. Hatiku malas yakin jika mata ini dapat lihat kembali lagi lengkung bibir yang indah itu. Wajah yang kurindukan setiap saat. Figur yang sempat pergi wafatkanku sekarang kembali lagi.

Badanku menegang saat sentuhan lembut tangan itu menyeka pipiku, mengenyahkan air mata yang semakin membanjir deras. Dianya demikian tanang memandangku dengan gurat bahagia yang terpancar jelas dari mukanya.

Kugenggam tangan dinginnya yang masih tetap menempati di pipiku. Ini riil. Saya dapat menyentuhnya, serta menyeka tangan itu penuh kasih seperti dahulu.

Tips Main Slot Dengan Modal Kecil

"Apa kamu rindukanku?" Suara itu, seperti alunan merdu yang tidak sempat lepas dari tiap detik khayalku. Dalam hati, saya merutuki pertanyaan bodohnya. Ia bertanya apa saya kangen? Serta dalam tiap tarikan napasku kangen kepadanya semakin menggebu. "Apa kamu suka berjumpa lagi denganku?"

Secara cepat saya mengangguk. Ia makin memperlebar senyum. Lagi serta lagi menjebakku dalam jerat pesonanya, menyeretku makin jauh, makin dalam.

"Maaf sempat membuat kamu menangis. Sebetulnya, terdapat beberapa hal yang ingin kusampaikan, tetapi di sini waktuku tidak lama. Saya cuma ingin minta satu hal darimu." Tangannya terulur mendapatkan tanganku, lalu tempelkan telapak tanganku di dadanya.

Jantungku bertalu-talu di rongganya, sama seperti yang kurasakan waktu dahulu bersanding di sebelahnya. Serta saat ini saya sadar, jika rasa cintaku buatnya tidak sempat bergerak sedikit juga.

"Di sini, saya sempat berikan cinta untukmu. Di sini juga ada pemicu kau harus kehilanganku. Jantung serta hati, satu kesatuan yang membuat kita terikat dalam satu rasa namanya cinta.

"Kumohon, jangan sampai lupa jika saya sempat jadi paling mujur sebab dapat memilikimu. Kumohon, bila saya pergi jangan sampai kadang-kadang kamu kehilangan arah untuk hidup. Barbahagialah bila ingin melihatku bahagia. Sebab diri kamu, ialah sumber paling besar kebahagiaanku."

Saya memejam, setitik air mata kembali lagi berhasil lolos dari sarangnya. Walau sangsi, saya menyanggupi permohonannya itu. Entahlah. Saya tidak percaya akan berteman dengan bahagia sesudah kehilangannya. Serta, apa tujuannya dengan ucapkan kata 'waktuku tidak lama'? Akankah sesudah melepas kangen saya harus merengkuhnya kembali lagi?

"Maukah kamu janji akan hal tersebut padaku? Saya cuma ingin melihatmu tetap bahagia...Gadisku," katanya lagi penuh berharap. Saya menarik napas panjang serta mengembuskannya perlahan-lahan. Menjawab satu pertanyaan itu rasa-rasanya demikian susah. Bagaimana tidak bila dialah muara dari semua bahagiaku?

"A-aku, saya akan coba selalu untuk bahagia." Pas sesudah menjelaskan itu saya kembali lagi terisak.

Ia melepas tanganku dari dadanya. Perlahan-lahan tetapi tentu, dia mengundurkan badan sampai pegangan tangan kita lepas.

Saya terkesiap. Jiwaku seolah direnggut paksa waktu dianya makin jauh dari capaian mataku. Kabur, kumelihatnya mengangkat tangan serta tersenyum manis seakan tengah mengutarakan salam perpisahan.

Saya teramat ingin memburunya, tetapi kakiku seolah terbelenggu sampai susah digerakan. Saya menjerit waktu figur itu musnah bersama-sama sinar putih jelas ke arah kembali pada alam abadinya.

Badanku meluruh ke tanah, saya menangis sejadi-jadinya. Betul saja! Takdir memang mempermainkanku saat ini. Dunia berasa sedang mengolok-olokku demikian kejam.

Untuk apa menyeretku ke ilusi ini? Untuk apa mendatangkannya bila harus pergi lagi? Rasa-rasanya saya ingin membentak takdir serta waktu yang sudah bersekongkol merusakku.

Tetapi, apa hakku jadi sekuasa itu? Saya diamkan bulir hujan yang mulai berlomba menghajar bumi mengguyur semua badanku. Hujan menyapu tangisku, bukan sekedar memudarkan tiap bulir air mataku.
Share:
Lokasi: Indonesia

Definition List

Unordered List

Support